KAJIAN KOSMOLOGIS NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM (TEORI C. LEVI STRAUSS)
Rabu, Januari 25, 2012
Pendahuluan
Kosmologis pada
hakikatnya berkaitan dengan asal-usul, struktur, dan hubungan ruang dan waktu
dalam alam semesta. Levi Strauss mengaitkan kosmologis dengan hal yang berbau
gaib.
Melalui kajian
strukturalnya, Levi Strauss berusaha
memahami nalar atau pikiran bawah sadar manusia dalam menjalani hidup.
Sedangkan media yang digunakan dalam memahami nalar tersebut adalah mitos yang
diyakini kebenarannya. Struktur bawah sadar ini dapat menghadirkan berbagai
fenomena budaya.
Mitos sebagai
sebuah seni, menurut pemikiran Levi Strauss bersifat dialektikal yang
melahirkan oposisi biner. Misalnya, atas-bawah, kanan-kiri, langit-bumi,
kaya-miskin, dan air-api. Oposisi biner tersebut melahirkan suatu keharmonisan.
Keharmonisan itu terlihat pada pola pikir masyarakat pemilik mitos tersebut.
Dengan demikian ada hubungan homologis antara mitos dan konteks sosial-budaya
masyarakat.
Sebuah mitos
selalu terkait dengan kejadian masa lalu. Nilai intrinsik mitos diperkirakan
terjadi pada waktu tertentu juga membentuk suatu sebuah struktur yang permanen.
Struktur ini terkait dengan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Jadi,
mitos menghubungkan suatu kejadian yang kepentingannya terletak pada
kejadian-kejadian itu sendiri dan detail yang menyertainya.
Pembahasan
Tataran
kosmologis terdapat dalam novel
Para Priyayi yang merupakan salah satu karya Umar Kayam. Hubungan dengan alam
ghaib terpapar jelas dalam kutipan cerpen berikut:
“Begitulah, pohon-pohon itu lantas
disiram dengan air berember-ember. Kemudian sesajian digelar di tengah hutan,
diantara pohon-pohon itu. Kiai Jogosimo, para pengiring, dan para abdi dalem
kabupaten pada duduk dan mulai menyantap nasi selamatan. Pohon-pohon itu
kemudian ditebangi dan dengan hati-hati
sekali diangkat ke kota untuk dibentuk menjadi soko guru dan tiang-tiang
penyangga lainnya. Karena kayu-kayu itu bukan sembarang kayu, bahkan kayu keramat,
maka soko guru beserta siang-siang pendopo Kabupaten Wanagih itu tetap tegak
berdiri hingga sekarang.” (Umar Kayam,
1992:4)
Dari cuplikan diatas, dapat dilihat bahwa Umar Kayam memasukkan unsur hubungan hal-hal
ghaib dalam cerpennya. Kosmologis tersebut merupakan cerminan masyarakat jawa
pada zaman dahulu yang umumnya mempercayai bahwa pohon-pohon rindang dan
besar merupakan tempat bersemayamnya arwah-arwah ghaib. Oleh sebab itu,
pohon-pohon itu diberi sesajian
yang digelar di tengah hutan guna menghargai roh leluhur. Selain kutipan diatas,
kenyataan hubungan dengan alam ghaib dalam cerpen ini juga terdapat dalam
kutipan berikut:
“Kali Ketangga disebut dalam Jangka Jayabaya sebagai satu sugai keramat,
yang pada suatu saat akan melahirkan Ratu Adil di tanah Jawa. Tentu saja saya
tidak tahu akan kebenaran ceritera itu. Yang jelas, pada setiap malam hari-hari
yang dianggap keramat oleh orang Jawa, misalnya, malam Selasa Kliwon atau malam
Jumat Kliwon, banyak orang pada kungkum, berendam, di sungai itu.” (Umar Kayam,
1992:6)
Umar Kayam menyuguhkan
kebiasaan ritual untuk menghormati arwah-arwah ghaib yang menghuni Kali Tetangga
yang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai kali keramat. Masyarakat tersebut
berharap jika sudah kungkum di kali itu maka suatu saat akan kejatuhan wahyu
terpilih sebagai Ratu Adil. Wahyu kekuasaan untuk memayu hayuning bawana, untuk terus mengusahakan keselamatan jagad.
Selain itu, ritual gaib yang dihadirkan
pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam bahwa kebiasaan setiap pagi baik guru
dan murid yang membungkukkan badan menghadap matahari untuk menyembah dewa.
Kebiasaan ini masih dipercayai oleh masyarakat setempat meskipun Lantip dan
orang tuanya tidak menyetujui mengenai kebiasaan tersebut. Perihal tersebut dapat dilihat pada cuplikan
berikut:
“Setiap pagi kami, baik guru maupun murid mesti menghadap ke utara
membungkukkan badan dalam-dalam memberi hormat kepada Tenno Heika, yaitu kaisar
Jepang yang katanya keturunan dewa. Habis itu kami semua diwajibkan taiso,
yaitu olahraga, baru kemudian mulai dengan pelajaran. Setiap hari mesti ada
pelajaran bahasa Nippong. Dan untuk itu akan diadakan khursus kilat bahasa
Nipong buat guru-guru yang terpilih.” (Umar Kayam, 1992:126)
Simpulan
Kisah pada novel Para Priyayi dilatarbelakangi
oleh kepercayaan masyarakat terhadap arwah-arwah ghaib. Kepercayaan terhadap adanya sesajen untuk pohon keramat,
berendam di sungai keramat, dan ritual menyembah dewa matahari setiap pagi
masih sangat kental di kota Madiun pada saat itu.
2 Komentar
punya novelnya ndak???
BalasHapuspunya novelnya ndak???
BalasHapus