STATUS SOSIAL ANTAR TOKOH DALAM NOVEL “1998” KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM (Analisis Stuktural Levi Strauss – Tataran Sosiologis)
Bahasa dan Sastra Minggu, Januari 20, 2013
ABSTRAK
Sastra
atau kesusastraan ialah ekspresi pikiran dan perasaan manusia, baik lisan
maupun tulis (cetakan) dengan menggunakan bahasa yang indah menurut konteksnya.
Salah satu karya sastra yang ada adalah novel.
Novel
adalah cerita dalam bentuk prosa fiksi dalam ukuran yang luas. Keluasan
tersebut ditunjukkan oleh kekompleksan plot, keragaman karakter, kekompleksan
tema, keragaman suasana cerita, dan keragaman latar cerita.
Novel
1998 adalah novel yang menceritakan tentang kehidupan Putri. Putri adalah anak
walikota Malang. Dengan status sosial Papanya sebagai walikota Putri dituntut
untuk tidak menjadi mahasiswa aktifis. Status sosial keluarga Putri pun yang
melarangnya untuk dekat dengan Neno. Selain itu Status sosial Ninik yang hampir
tidak disetujui memikah dengan Suwarno.
Status
sosial tokoh di mata masyarakat menjadikan ia memiliki kedudukan dalam masyarakat
itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa status sosial memang memiliki peran
yang sangat penting bagi kehidupan di masyarakat.
Kata kunci: sastra, novel, status sosial
Pembicaraan
sastra sebagai wilayah ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dan konsepsi
Goodenough (Najid, 2001). Analogi atas konsepi Goodenough tentang kebudayaan
dapat dikatakan bahwa pembicaraan sastra dalam kawasan ilmu akan terjebak pada
beberapa hal yaitu sastra sebagai materi atau fungsi, dilema sastra itu genetik
atau didaktik, dan sastra sebagai prediksi.
Beberapa
pengertian tentang sastra sangatlah beragam, walaupun keragaman tersebut
cenderung bersifat saling melengkapi. Menurut Hotomo (1989) sastra adalah
ekspresi pikiran dan perasaan manusia, baik lisan maupun tulis, dengan
menggunakan konteksnya. Pengertian tersebut menunjukkan ada tiga hal penting
yang menjadi ciri khas sastra, yaitu sastra sebagai ekspresi pikiran dan
perasaan manusia; bentuk dan lisan; serta penggunaan bahasa yang indah menurut
konteksnya.
Karya
sastra adalah cerminan kehidupan sosial. Karya sastra merupakan kristatlisasi nilai dan
pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran dan kehidupan. Kehidupan mencakup
hubungan antar manusia, hubungan antar masyarakat, dan antar peristiwa yang
terjadi dalam batin manusia (Damono dalam Najid, 2009:1). Paparan tersebut
menunjukkan bahwa karya sastra berangkat dari realitas kehidupan manusia yang
berwujud dari budaya yang ada di masyarakat.
Struktur
adalah hubungan antara unsur-unsur pembentuk dalam susunan keseluruhan. Dalam
hal ini, hubungan antar struktur tersebut dapat berupa hubungan dramatik,
logika, maupun waktu. Tokoh utama strukturalisme dalam kehidupan intelektual
Prancis adalah seorang antropolog bernama Clade Levis-Strauss. Levi-Strauss
menunjukkan betapa pikiran-pikiran primitif sesungguhnya bersifat kompleks dan
memiliki pola. Unsur-unsur dan prinsip-prinsip semiologis adalah penekanan
keduanya pada sturktur. Apa yang hendak ditunjukkan dalam penelitiannya yang
berjilid-jilid tentang totemisme, ritus primitif, pola kekerabatan, dan terutama
mitos adalah adanya kesejajaran antara artefak-artefak kebudayaan kuno dengan
fenomena budaya (Cobey and Jansz dalam Rafiek, 2002: 53—54).
Strukturalis
pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan
dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya
sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait
satu sama lain. Kodrat struktur itu akan bermakna apabila dihubungkan dengan
struktur lain. Struktur tersebut memiliki bagian yang kompleks, sehingga
pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan.
Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian atau fragmen struktur
(Endraswara, 2002:49).
Strukturalisme
sebenarnya merupakan paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas
berstruktur. Dunia sebagai suatu hal yang tertib, sebagai sebuah relasi dan
keharusan. Jaringan relasi ini merupakan struktur yang bersifat otonom. Karena
keteraturan struktur itu, akan membentuk sebuah sistem yang baku dalam
penelitian sastra (Endraswara, 2002:49).
Struktur
sosiologis berkaitan dengan masalah kemasyarakatan. Dengan demikian, wujudnya
adalah organisasi masyarakat. Menurut Levi Strauss organisasi masyarakat
merupakan sistem dualistis. Di samping berkaitan dengan oragnisasi masyarakat,
struktur sosial juga berkaitan dengan status sosial tokoh. Status sosial tokoh
tersebut terlihat pada hubungan anak-ayah-ibu-dan orang lain.
Status
sosial memang sangat penting di masyarakat. Ia berada pada tingkatan tertinggi
dalam masyarakat. Seseorang akan dihargai masyarakat jika memiliki status
sosial yang tinggi. Begitu pula apabila seseorang memiliki status sosial yang
rendah maka tidak akan terlalu dihargai oleh masyarakat.
Bentuk
karya sastra (fantastis dan mistis) pun akan besar perhatiannya terhadap
fenomena sosial. Karya tersebut boleh dikatakan akan tetap menampilkan
kejadian-kejadian yang ada di masyarakat. Memang, pencipta sastra akan dengan
sendiri mendistorsi fakta sosial sesuai dengan idealisme mereka.
Ensiklopedia
Amerika memberi batasan bahwa novel ialah cerita dalam bentuk prosa yang cukup
panjang dan meninjau kehidupan sehari-hari. Berdasar atas aspek panjang, sebuah
novel dapat memiliki peluang yang cukup untuk mengeksplorasi karakter tokoh
dalam rentang waktu yang cukup panjang dan kerangka cerita yang sangat
bervariasi (bisa berbingkai-bingkai).
Rentang
waktu yang cukup panjang memungkinkan seseorang pengarang novel untuk tidak perlu
tergesa-gesa memperkenalkan tokoh cerita dan menyajikan peristiwa secara lebih
cepat seperti pengarang cerpen. Novel memberi kemungkinan kepada pembaca untuk
menangkap perkembangan kejiwaan tokoh secara lebih menyeluruh.
Novel
juga sangat memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai
persoalan hidup. Itulah sebabnya, persoalan-persoalan yang diangkat sebagai
tema sebuah novel cenderung jauh lebih kompleks dan rumit apabila dibandingkan
dengan cerpen. Persoalan hidup manusia yang kompleks tersebut dapat memuat
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam semesta, hubungan
manusia dengan masyarakat, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Peranan
manusia yang digambarkan dalam novel tidaklah statis, melainkan selalu bergerak
dalam perjalanan waktu. Novel memungkinkan untuk merekam seluruh perkembangan
itu secara utuh dan menyeluruh. Selain itu, novel lebih leluasa mengeksplorasi
detil-detil peristwa, suasana, dan karakter tokoh untuk menghidupkan cerita.
Keutuhan sebuah novel tidak ditopang oleh kepadatan cerita seperti cerpen,
namun ditopang oleh tema karyanya (Najid, 2009:22).
Novel
1998 adalah novel yang ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim. Novel ini
menceritakan tentang kejadian pada masa presiden Suharto yang diharapkan/dituntut
lengser menjadi presiden Republik Indonesia. Tokoh yang diceritakn dalam novel
1998 adalah Putri, Suwito (papa Putri), Ninik (mama Putri), Galih (kakak
laki-laki Putri), Neno (pacar Putri), Heni (sahabat Putri), Marzuki, Gundul,
Rudi.
Putri
adalah anak walikota Malang yang menyukai Neno sang mahasiswa aktifis kampus.
Status sosial keluarga Neno tidak sederajat dengan status sosial Putri. Putri
dilahirkan dari keluarga pejabat sedangkan Neno merupakan anak seorang
wiraswata. Pada suatu ketika mereka akhirnya menjalin hubungan yang serius (pacaran).
Dalam novel digambarkan pula status sosial papa Putri yang membuat Putri
berbeda pada teman-temannya. Putri dilarang manjadi mahasiswa aktifis, Putri
tidak boleh mengikuti demonstrasi mahasiswa. Padahal Neno adalah pacarnya Putri
yang menjadi pelopor untuk berdemonstrasi. Hal ini bersebrangan dengan keluarga
Putri. Papa Putri (sang walikota) satu partai dengan Pak Suharto. Inilah yang membuat
Putri dilarang Suwito (papa Putri) untuk tidak berkecimpung di dunia aktiis. Tidak
hanya itu status sosial mama Putri yang menjadikannya tidak boleh menikah
dengan Suwarno (dulunya). Namun Ninik (mama Putri) bersedia menanggung risiko
terhadap Suwarno. Suwarno adalah anak petani yang tidak sederajat dengan
keluarga Ninik.
Novel
1998 akan dianalisis menggunakan Teori Struktural Levi Strauss dengan
menggunakan tataran sosiologis. Novel 1998 banyak menceritakan tentang situasi
politik di Indonesia pada masa Suharto. Namun penganalisisan akan lebih
difokuskan kepada konflik/masalah yang berhubungan tentang status sosial di
masyarakat.
ANALISIS
Tataran sosiologis dalam Novel 1998 dilatarbelakangi oleh kehidupan
politik di Indonesia. Tokoh Putri merupakan anak walikota Malang bernama
Suwito. Mamanya, Ninik adalah perempuan Jawa yang sangat mengagumi suaminya.
Status Sosial papa Putri membuat Putri tidak suka jika orang-orang tahu kalau
ia adalah anak seorang walikota. Hal tersebut terlihat pada cuplikan di bawah
ini:
“Putri,
duduk dimuka kaca rias, “aku anak walikota. Sebetulnya aku tidak suka
orang-orang tahu kalau aku ini anak seorang walikota” (Ibrahim, 2012:1).
Bahkan mama Putri tidak senang jika Putri membaca buku-buku politik
apalagi buku-buku yang berbau komunis. Mama Putri pun melarang Putri membaca
buku Pramoedya karena karya-karnyanya dilarang beredar oleh pemerintah. Mama
Putri takut akibatnya kalau ada orang yang tahu apabila anak walikota membaca
buku yang dilarang beredar oleh pemerintah. Hal tersebut tergambar pada
cuplikan di bawah ini:
“Mama tidak pernah suka kalau
memergoki aku membaca buku itu karena buku Pramoedya dilarang beredar oleh
pemerintah. Mama selalu bilang, “Itu buku komunis! Berbahaya kalau orang-orang
tahu kamu baca buku itu, nduk” (Ibrahim, 2012:4).
Papa Putri tidak ingin Putri terperosot oleh buku-buku yang tidak disukai
dan dicekal oleh pemerintah. Sekalipun Papa dan mama Putri senang membaca.
Kedua orang tua Putri menganggap bahwa buku semacam itu hanyalah wacana yang
isinya tidak realitas. Termasuk juga dalam hal demo. Kedua orang tua Putri
tidak sejalan dengan mahasiswa berdemo. Sebenarnya anak-anak muda yang demo
tidak tahu apa-apa. Karena dalam memerintah memang tidak mudah. Hal ini
tergambar pada kutipan dibawah ini:
“Ya sekalipun orangtuaku senang
membaca, tentu saja Papa dan Mama tidak pernah menganjurkan untuk membaca
buku-buku semacam itu. Papa acapkali bilang, “buku-buku seperti itu cuma untuk
wacana saja. Isinya bukan realitas kehidupan kita. Oleh karena itu Orde Baru
melarangnya. Saya tidak akan pernah mengizinkan kau membaca apa-apa yang tidak
disukai pemerintah. Bukankah pemerintah sekarang sudah menuju kemakuran?
Makanya saya tidak paham mengapa anak-anak muda demo. Mereka pikir mudah memerintah?
Saya saja yang walikota, pusing!” (Ibrahim, 2012:6)
Situasi politik pada saat itu membuat Putri membatalkan janjinya dengan
Heni. Heni adalah perempuan etnis Tionghoa. Orangtaunya tinggal di Jakarta
menjadi pedagang kain di Glodok. Janjinya dengan Heni adalah berenang bersama.
Papa Putri tidak mengizinkannya keluar ke mana-mana dulu karena situasi politik
yang tidak menentu. Hal ini terlihat pada cupliakn di bawah ini:
“Barusan
papaku telepon, dia tidak mengizinkan aku keluar ke mana-mana dulu. Jadi Put,
besok acara berenangnya batal yah. Apalagi Papa bilang sebaiknya aku masuk
asrama yang diurus biarawati saja karena tempat itu aman dari situasi politik
yang tidak menentu seperti sekarang ini...” (Ibrahim, 2012:15).
Mama Putri tidak menyukai Putri bergaul dengan aktifis. Padahal
sahabat-sahabatnya seperti Neno dan Heni adalah para aktifis kampus. Dikhwatirkan
jika teman-temannya aktifis maka Putri akan terjerumus pula ke dalam dunia
politik kampus. Mama Putri tidak menginginkan keluarga Suwarno menjadi bahan
perbincangan publik jika diketahui anaknya masuk dalam gerombolan para demonstran.
Hal ini tergambar pada cuplikan di bawah ini:
“Mamanya tentu saja memandang
Putri dengan risau, :apakah sahabt-sahabatmu sudah mengajak untuk aktif
berpolitik? Heni dan Neno kan aktifis. Aku juga baru tahu kalau nama mereka
tercatat di kepolisian” (Ibrahim, 2012:25).
Demo adalah tindakan masyarakat yang tidak senang dengan kondisi dan
keputusan pemerintah. Jika Putri terlibat dalam kerumunan demonstran lalu
diliput wartawan maka karier papanya kan hancur. Hal ini dikarenakan papa Putri
memiliki peran penting di masyarakat sehingga ia selalu mengupayakan agar
anak-anaknya tidak berkelakuan seperti para demonstran. Agar anak-anaknya tidak
membuat kerusuhan. Keluarga Suwarno adalah keluarga yang terpandang. Hal ini
tergambar pada kutipan di bawah ini:
“Putri dan Heni gemetar dan
saling berpandangan. Heni yang mulai bicara, “untung kita keluar dari kerumunan
demonstran. Ini sangat tidak menguntungkan bagi keluarga kita.”
“Putri menjawan dengan suara
rendah, “yah, karier papaku bisa hancur-hancuran kalau aku terliput wartawan”
(Ibrahim, 2012:12).
Status Sosial papa Putri sebagai walikota menjadikan Putri dilarang ikut
demo di kampusnya. Hal itu disebabkan papa Putri yang satu partai dengan
presiden. Hal tersebut tergambar pada kutipan di bawah ini:
“Terlintas dalam pikiranku apa
yang belakangan Papa bilang, “coba kau pikir, buat apa sih teman-temanmu demo?
Tidak akan merubah apapun. Pak Harto punya mata telinga melebihi apa yang
kalian kira. Saya sendiri manganggap Pak Harto cukup bagus melakukan kepemimpinan
pada saat ini” (Ibrahim, 2012:5).
Papa Putri sebagai walikota Malang tidak senang terhadap demo mahasiswa.
Papa Putri menganggap bahwa mahasiswa berdemo sebenarnya tidak tahu apa-apa
tentang pemerintahan. Mereka berdemo karena dipengaruhi oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab. Sampai akhirnya papa Putri tidak ingin anaknya
ikut-ikutan seperti teman-temannya yang berdemo. Papa Putri menginginkan Putri
belajar saja ke mancanegara. Hal tersebut tegambar pada cuplikan di bawah ini:
“Saat itulah papanya menelepon,
“kau tadi tidak ikut demo kan? Teman-temanmu itu tahu apa tentang pemerintahan
ini! Paling-paling mereka sudah dipengaruhi oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab! Dengar-dengar ada yang mendalangi mereka!”
“Putri tersentak, “Papa, saya
kira tindakan mereka cukup murni. Mereka Cuma menginginkan demokrasi. Bukankah
tanpa demokrasi rakyat tidak bisa berbicara? Padahal banyak lahan tanah mereka
dikuasai pemerintah. Neno bilang ini sebabnya mahasiswa mengorganisir diri
mereka untuk mendampingi rakyat yang dibungkam.”
“Kularang kau ikut-ikutan!
Keputusan masmu sudah tapat pergi ke mancanegara dan sekolah dengan benar!
Setelah masmu lulus, giliranmu sekolah di sana!” (Ibrahimm, 2012:14).
Status sosial Papa Putri sebagai walikota membuat Putri tidak nyaman. Itu
terjadi karena ketika Putri dan Neno keluar rumah dinas lalu jalan-jalan,
wartawan foto memuat profilnya di koran lokal. Para wartawan menafsir Neno
sebagai calon menantu orangtua Putri. Keesekan harinya papa Putri diberi
selamat oleh jajarannya sehingga papa Putri sangat marah kepada Putri. Hal ini
dijelaskan dalam kutipan di bawah ini:
“...Bahkan tak jarang dia merasa
privacy-nya terusik kala wartawan foto memuat profilnya di koran lokal. Ya,
suatu ketika Putri dan Neno keluar dari rumah dinas itu untuk jalan-jalan
kemudian nongkrong di warung kopi bersamaku. Para wartawan menafsir Neno
sebagai calon menantu orang tua Putri. Keesokan harinya papa Putri diberi
selamat oleh jajarannya sehingga Papa sangat marah padanya dan bilang, “suka atau
tidak, kau sekarang bisa jadi bulan-bulanan pers!” (Ibrahim, 2012:19).
Melihat kemarahan papanya, Putri pun membela diri. Perihal tersebut
membuat Putri menjadi tidak senang. Putri merasa ia bukan selebritis. Orang
tuanya pun menasehatinya kalau Putri harus berhati-hati. Hal ini tergambar pada
cuplikan di bawah ini:
“Putri membela diri dengan
suasana hati panas sambil berkata bahwa Neno cuma sahabat baginya. Tapi
orangtuanya bersikukuh, “mulai sekarang kau harus berhati-hati. Kau sudah jadi
teladan masyarakat.
“Putri terdiam. Dia merasa bukan
selebritis. Dia juga tidak pernah bermimpi menjadi selebritis (Ibrahim,
2012:19).
Status sosial memang membuat kehidupan menjadi lebih baik. Jika ia seorang
petinggi negara maka segala hal akan menunjang perihal hidup. Dalam Novel
diceritakan pula bahwa Suwito berkedudukan sebagai walikota maka tingkat
kehidupan ekonomi keluarga meningkat. Misalnya saja Galih (kakak Putri), ia
bisa bersekolah di Amerika meskipun mendapat beasiswa S2 dari yayasan
pendidikan di mancanegara. Namun untuk kebutuhan hidup masih ditunjang oleh
papa Putri. Hal tersebut tergambar pada kutipan di bawah ini:
“Aku melanggar aturan orangtua
terkait buku-buku bacaan. Tentu saja cuma iseng. Aku benar-benar tidak
bermaksud apa-apa kecuali sekedar ingin tahu. Aku tahu, berkat Papa diangkat
menjadi walikota, otomatis tingkat kehidupan ekonomi keluargaku meningkat.
Sangat meningkat. Jadi Mas Galih bisa sekolah di Amerika. Meskipun mendapatkan
beasiswa penuh untuk mengambil S2 dari sebuah yayasan pendidikan di mancanegara
namun untuk memenuhi kebutuhan hidup, dia masih ditunjang Papa (Ibrahim,
2012:6).
Putri sebagai anak walikota tentunya memiliki pendapat yang lain dari
Suwito. Ketika Putri mengobrol dengan Heni (sahabatnya) ia pun bercerita
tentang pendapat papanya. Suwito menganggap bahwa sikap presidan yang otoriter
itu bagus selama rakyat nyaman. Sedangkan Putri tidak sependapat. Papa Putri dapat berbicara
seperti itu karena logikanya papa Putri adalah walikota (pejabat) dibawah
naungan presiden. Papa Putri satu partai dengan presiden itulah yang membuat
papa Putri mendukung sepenuhnya tentang apa-apa yang dikerjakant oleh presiden.
Sekalipun hal itu bersebrangan dengan masyarakat atau bahkan dengan anaknya
sendiri. Putri tidak ingin berdiri dibalik orang tuanya. Putri ingin mandiri. Putri
ingin terbebas dari dunia papanya. Putri inging berkarier sendiri. Hal tersebut
tergambar pada cuplikan di bawah ini:
“Putri terdiam sejenak lalu
bicara, “aku merasa negeri ini punya presiden otoriter. Sedang papaku bilang,
bagus juga otoriter selama rakyat nyaman. Berarti itulah yang terbaik. Ah, aku
sendiri entahlah. Aku Cuma kepingin tidak berada di balik bayang-bayang
orangtuaku. Aku ingin punya karier sendiri” (Ibrahim, 2012:11).
Peran Suwito sebagai walikota yang satu partai dengan Presiden Suharto
membuat ia selalu meninggikan Suharto. Bagi Suwito, Presiden Suharto mengerti
strategi militer dan sudah menerapkan strategi tersebut dalam kepemimpinannya.
Hal tersebut tergambar pada cuplikan di bawah ini:
“Putri menggandengnya lekas-lekas
untuk keluar dari areal parkir, “tidak akan ada apa-apa. Kata papaku, Suharto
orangnya ngerti strategi militer. Jadi Suharto menerapkan juga teori itu dalam
kepemimpinannya. Bayangkan saja Hen, sudah tiga puluh tahun ia membungkam lawan
politiknya! (Ibrahim, 2012:10).
Terkadang Putri tidak membenarkan jika papanya (Suwito) marah jika Putri
ikut dalam kelompok demonstran. Padahal papanya kadang-kadang mengeluh bahwa
kekuasaan saat ini mengerikan. Tap di lain pihak, Putri juga tidak membenarkan
teman-temannya berdemo, kepada para demonstran. Mereka dapat membuatnya tak
nyaman. Seolah-olah mereka bukan lagi sahabat-sahabat Putri. Para demonstran
sering mengunjungi rumah dinas walikota, tempat ia dan orangtuanya tinggal,
sambil menikmati msakan Mak Ti. Hal tersebut tergambar pada cuplikan di bawah
ini:
“Tapi kali ini Putri melihat
kemarahan papanya tidak benar. Bukankah papanya kadang-kadang mengeluh bahwa
kekuasaan saat ini mengerikan. Dia bisa saja difitnah dan dilempar dari
jabatannya sekarang karena ada orang yang iri padanya. Tapi di sisi lain, Putri
merasa tatapan mata para demonstran yang juga teman-temannya itu tadi tidak
membuatnya nyaman. Seolah-olah mereka bukan lagi sahabat-sahabat yang sering
mengunjungi rumah dinas walikota, tempat ia dan orangtuanya tinggal, sambil
menikmati masakan Mak Ti. Mereka pernah menertawakan banyak hal
bersama-sama...” (Ibrahim, 2012:14).
Ninik adalah mama Putri. Status sosial tampak ketika Ninik mencintai
Suwarno. Dalam novel diceritakan bahwa orangtua Ninik hampir tidak setuju jika
menikah dengan Suwarno. Suwarno adalah wong
ndeso yang kebetulan saja bisa kuliah. Sedangkan Ninik adalah keluarga
berdarah biru. Eyang kakung Ninik dan bapaknya Ninik adalah wedana sedangkan
Suwarno bukan keturunan darah biru. Hal tersebut tergambar pada cuplikan di
bawah ini:
“Selanjutnya Putri hafal cerita
mamanya, “orangtuaku hampir tidak setuju ketika aku ingin menikah dengan
papamu. Mereka menganggap Papamu adalah wong
ndeso yang kebetulan bisa kuliah. Sedangkan kami berdarah biru. Eyang
kakungku dan bapakku adalah seorang wedana” (Ibrahim, 2012:18).
Mama Putri memilh Suwarno karena sama-sama menempuh studi di Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya pada masa setelah peralihan status sebelumnya
adalah Universitas Airlangga di Malang. Menurut keluarga Ninik, Suwarno
harusnya berterima kasih kepada Ninik karena bisa berjejaring dengan para
pejabat tinggi. Keluarga Ninik sering mengungkit-ungkit perihal ini. Keluarga
Ninik memprediksi bahwa jika Suwarno tidak menikah dengan Ninik (keturunan
wedana) maka Suwarno tidak akan menjadi walikota seperti saat ini.
Paling-paling Suwarno hanya sebagai pegawai kecamatan. Hal tersebut tergambar
pada cuplikan di bawah ini:
“...Sebab mereka sama-sama
menempuh studi di Fakultas ekonomi Universitas Brawijaya pada masa setelah
peralihan status yang sebelumnya adalah Universitas Airlangga di Malang. Secara
akademis mereka memang setara. Sedangkan menurut keluarga besar mamanya,
Suwarno muda seharusnya berterima kasih kepada mereka karena bisa berjejaring
dengan para pejabat tinggi di pusat yang salah satunya adalah kakak sepupu
Ninik. Mereka sering mengungkit-ungkit hal ini, “kalau Suwarno tidak menikah
dengan Ninik, paling-paling cuma jadi pegawai kecamatan. Bukan menjadi walikota
seperti sekarang” (Ibrahim, 2012:22).