Tinjauan Teori Sosiologis C. Levi-Strauss Tokoh Zainuddin dalam Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” Karya Hamka
Bahasa dan Sastra Minggu, Desember 18, 2011Manusia dapat dipandang sebagai makluk individu dan makhluk sosial. Beragamnya keinginan individu menyebabkan terjadi interaksi antarmanusia demi terwujudnya tujuan hidup bersama. Oleh sebab itu, setiap individu tentunya membutuhkan individu yang lain. Jika antarindividu tersebut saling tolong-menolong dan tidak ada yang dirugikan maka tidak akan terjadi suatu masalah. Tetapi jika antarindividu tersebut merasa dirugikan, maka terjadilah masalah dalam bersosialisasi.
Keseluruhan yang selalu berubah itu disebut masyarakat. Pengertian masyarakat menurut Mac Iver dan Page dalam Soekanto (1987:20) adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Masyarakat sebagai subsistem kehidupan yang memiliki keunikan, konflik, serta benturan-benturan antarindividu adalah hal menarik untuk ditulis oleh seseorang pengarang. (Sariban, 2009:9)
Dengan membaca novel, secara tidak langsung salah satu sisi kehidupan dapat diamati. Jika masyarakat dipandang sebagai model karya sastra. Pembahasan masyarakat mengenai kajian sosiologis dalam sosiologi sastra sangatlah penting. Objek sosiologis adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan manusia di dalam masyarakat.
Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dengan masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Sosiologi sastra mengkaji sebuah teks sastra lengkap dengan hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya, baik itu kehidupan sosial pengarang, maupun kehidupan sosial sebuah masyarakat yang menjadi setting sebuah karya sastra. Jadi, sosiologi sastra mengkaji sebuah teks sastra dan menggabungkannya dengan kehidupan sosial yang melatarbelakanginya.
Seiring zaman yang semakin berkembang, kajian-kajian terhadap sastra, khususnya kajian sosiologi sastra pun makin berkembang dengan semakin banyaknya teori-teori yang digunakan untuk landasan analisis sebuah teks karya sastra. Salah satu teorinya adalah teori Struktur C. Levi-Strauss yang mencoba mengkaji sebuah karya sastra melalui tataran sosiologis.
Melalui kajian strukturalnya, Levi-Strauss berusaha memahami nalar atau pikiran bawah sadar manusia dalam menjalani hidup. Struktur sosiologis Levi-Strauss berkaitan dengan masalah kemasyarakatan. Dengan demikian, wujudnya adalah organisasi masyarakat. Menurut Levi-Strauss organisasi masyarakat merupakan sistem dualistis. Di samping berkaitan dengan organisasi masyarakat, struktur sosial juga berkaitan dengan status sosial tokoh. Status sosial tokoh tersebut terlihat pada hubungan anak-ayah-ibu-dan orang lain.
Pembahasan
Tataran sosiologis yang mendukung novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini dilatarbelakangi oleh kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang masih erat akan peraturan-peraturan, adat pusaka yang kokoh dan kuat dalam suatu negeri yang bersuku dan berlembaga, berkaum kerabat, dan berninik-mamak. Perencanaan mengenai tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut:
“Karena dia seorang beradat, gelar pusaka Datuk Mantari labih tidak ada yang akan memakai. Di Minangkabau orang merasa malu kalau dia belum beristri orang kampunya sendiri. Berbini di rantau orang artinya hilang. ((Hamka, 2002:13)
Hal yang berhubungan dengan asal si ayah dan ibu mengakibatkan Zainuddin tidak berhak diberi gelar pusaka sebab dia tidak diakui sebagai orang Padang. Pada saat Zainuddin berkunjung ke Padang Panjang, tempat yang ditujunya di dusun Batipuh, mencari asal-usul keluarganya, di desa itulah tempat ayahnya yang asli, ia tidak diakuinya sebagai anak Minangkabau. Karena adat orang Minangkabau lain sekali. Meskipun Zainuddin berayah Minangkabau tetapi ia beribu orang Tapanuli atau Benngkulu maka ia dipandang sebagai orang asing. DI bawah ini terlihat cuplikan yang menggambarkannya:
“Sebab itu, walaupun seorang anak berayah Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. Malang nasib anak yang demikian, sebab dalam negeri ibunya dia dipandang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing pula.” (Hamka, 2002:21)
Maka secara berkesinambungan pula, ia tidak mendapatkan gelar pusaka dan tidak diberikan restu menikah dengan Hayati. Terkadang pula Zainuddin menyesali mengapa ayahnya menikah dengan ibu yang dari keturunan Minangkabau saja. Perihal ini terdapat pada kutipan di bawah ini:
“Kadang-Kadang disesalinya perkawinan ayahnya dengan ibunya. Kadang-kadang pula dia menyadari untung malangnya, mengapa dia tak dilahirkan dalam kalangan orang Minangkabau!”(Hamka, 2002:55)
Ketakutan dan kecemasan tokoh Zainuddin dan Hayati ketika berkirim-kiriman surat adalah tidak ingin omongan Hayati dipandang rendah, dimaki, dan diejek oleh masyarakat di desanya. Sebab berkirim surat adalah salah satu cela paling besar baik di Minangkabau atau di Mengkasar.
“...barangkali berkirim surat itu adalah satu cela paling besar, sebab baik di Minangkabau atau Mengkasar sekali pun, amat dicela orang, anak muda yang berkirim surat kepada perempuan. Barangkali, akan terlepas Hayati selama-lamanya dari tangannya, sebab dia dipandang rendah budi.” (Hamka, 2002:38)
Kepribadian sosial tokoh Zainuddin yang sangat cintaanya terhadap Hayati merupakan latar belakang sosiologis dalam cerpen ini. Zainuddin sangat mencintai Hayati sehingga berjanji akan bersama kecuali jika ajal menjemput mereka. Keadaan tersebut digambarkan seperti dalam kutipan berikut
“Hayati, kau kembalika jiwaku! Kau izinkan aku hidup. Ulurkan tanganmu, marilah kita berjanji bahwa hidupku bergantung kepadamu, dan hidupmu bergantung kepada hidupku. Yang menceraikan hati kita, meskipun badan tak bertemu, ialah bila nyawa bercerai dengan badan.”(Hamka, 2002:48)
Selain itu, Zainuddin mengalami demam yang tinggi. Padahal sudah dipanggilnya dukun-dukun. Para dukun menebak dengan bermacam-macam tebakan yang tidak jelas. Lalu saat sakit Zainuddin sudah sepuluh hari lamanya, ia mengigau dalam tidurnya dan menyebut-nyebut ayahnya, bundanya, Mak Base, Batipuh, kawin, Aziz, dan yang paling menjadi buah tuturnya adalah Hayati. Itulah bukti kecintaannya kepada Hayati sehingga ia terkena penyakit yang susah disembuhkan itulah penyakit cinta. Penyakit itu hanya bisa disembuhkan dengan datangnya Hayati disamping Zainuddin. Kemudian dalam keadaan tak berdaya hayati memanggil Zainuddin seketika pula ia terbangun. Sosok Hayati bagi tokoh Zainuddin sungguh menjadi penyemangatnya. Hal mengenai ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini:
“Mendengar suara yang merdu itu, yang dalam telinganya laksana suara nafiri dari dewa-dewa, Zainuddin pun mengembangkan matanya yang cekung. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan mencari dari mana datang suara itu. Lalu dia bertanya: “Siapa yang memanggil namaku?” (Hamka, 2002:135)
Pada akhir cerita, ketika Hayati telah dicerai oleh Aziz. Kemudian Aziz menyerahkannya kepada Zainuddin sebagai ungkapan balas jasa. Seketika itu pula Hayati ingin hidup berdampingan dengan Zainuddin tetapi seketika itu ditolak oleh Zainuddin. Gejolak dendam dan cinta beradu batin. Zainuddin seperti itu karena janji-janji yang diucapkan oleh Hayati telah diingkari. Itu yang menyebabkan Zainuddin tidak menginginkan Hayati lagi. Seperti pada kutipan berikut:
“Apakah yang akan ditunggunya lagi? Bukankah Hayati itu nyanyian hidupnya selam ini? Dia teringat kembali semuanya itu, dia perlu ada ber-Hayati di sampingnya. Dia tahu bahwa dia tidak merasa bahagia hidup kalau tidak dengan Hayati. Tetapi trerbayang pula kembali bagaimana mungkirnya dari janjinya. Bila terbayang yang demikian itu, hatinya patah kembali. Dalam kepatahan itu, kedengaran pula ratap hayati beriba-iba, bersedih-sedih, meminta dikasihani, hatinya pun jatuh pula!” (Hamka, 2002:189)
Lalu hubungan keduanya terletak pula ketika Hayati sudah tiada hidup lagi di dunia (meninggal), sosok Zainuddin mengalami gangguan psikologisnya. Ia menjadi tidak semangat dalam menjalani hidup, sering melamun dan selalu terbayang-bayang wajah Hayati. Kemudian dari hari ke hari badan Zainuddin semakain bertambah kurus, kian lemah, dada sesak, pikiran duka, dan menyesal lalu pada akhirnya ia meninggal (menyusul Hayati ke alam baka).
Simpulan
Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka, sosok ibu merupakan sosok penting di daerah Minangkabau. Karena jika ia memiliki anak, anak tersebut akan diakui jika ibunya keturunan Minangkabau tetapi jika sosok ayah berdarah Minangkabau sedangkan ibunya tidak maka ia akan dianggap orang asing.
Adat Minangkabau ketika hendak menikahkan anak gadisnya sangat mementingkan pangkat dan kemashuran pihak laki-laki karena menurut adat yang biasa : “hereng dengan gendeng, ribut nan mendingin, renggas nan melanting, dikaji adat dan lembaga, yang tidak lapuk hujan, nan tidak lekang panas, jalan raya titian batu, nan sebaris tidak hilang nan sehuruf tidak lupa”.