Cerpen Tentang Guru

Senin, November 25, 2019

PENUH DRAMA


Pada suatu pagi yang cerah, aku terdampar pada lalu lalang fatamorgana dunia. Kadang cekik melanda, kadang ukir tawa bergelayut. Ah, dunia hanya ilusi. Ah, dunia hampir-hampir diriku dibuatnya buta olehnya. Sejatinya yang hampir-hampir itu lekang saja namun tak mungkin. Satu per satu memang tampak, saling menunjukkan. Semua itu tak masalah, yang masalah ada pada keyakinan diri sendiri.

Aku masih ingat satu tahun yang lalu, saat aku masih menggenggam nama-nama itu berbaris rapi, dalam pikiranku aku juga bisa menjadi mereka. Namun omong kosong, aku ini siapa. Andrea Hirata, Raditya Dika, Pramoedya Ananta Toer, Sujiwo Tejo, Seno Gumira Adji Darma. Semua berputar-putar pada otakku. Hari ini, bayang-bayang itu kembali bergeming, pada ukiran kayu yang hampir lapuk itu. Mungkin ini akhir tahunku yang sebenarnya, batinku.

Udara pagi yang masih hangat, mengawali pagiku mengajar di sebuah sekolah negeri di kabupaten T. Hari ini merupakan hari Guru. Seluruh manusia di bumi pun akan merayakannya. Seluruh manusia juga punya guru, tidak ada yang tidak punya. Meskipun  guru itu ibu dan ayahnya sendiri. Aku tersenyum, saat barisan apel siswa telah rapi dan para guru siap duduk di tempat yang telah disediakan.

Semua berjalan dengan lancar, apel dan pembubaran barisan. Para wajah itu berbincang dengan semangat. Aku jadi ingat, beberapa tahun yang lalu saat aku diangkat menjadi guru di sebuah sekolah swasta di Kota S. Mengawali pagi dengan senyuman, melalui dengan senyuman, dan mengakhiri dengan senyuman. Meskipun ada iba yang melanda, meskipun ada hati yang patah, dan meskipun senyum itu sedang memaksa. Guru itu harus menjaga keceriannya agar para siswa bersemangat belajarnya. Belajar mengajar di swasta sedikit membuatku canggung dengan kebiasaan yang berbeda dengan keluargaku. Para siswa telah dilatih merapikan sepatu dan sandalnya di rak sepatu. Mereka harus berbaris rapi untuk bersalaman dengan para guru. Aku sangat senang melihat kebiasaan yang indah ini.

Pada hari ini, aku meninggalkan kenang-kenang itu dan mengingat kebahagiaanku bersama mereka. Pada bangku pitih abu-abu, aku telah melalui hariku. Sudah empat tahun aku belajar di sekolah ini untuk menjadi guru. Sangat berbeda dengan saat pertama aku mengajar di kota S. Aku masih ingat mendapat teguran oleh guru senior bahwa metode mengajarnya kekenak-kanakkan. Benar saja apa katanya bahwa metode bernyanyi di kelas hanya untuk anak TK dan SD. Kali ini aku mengajar di bangku SMA. Aku menepuk-nepuk kesadaranku kembali. Sejak saat itu, aku tidak lagi mengajak mereka bernyanyi bahwa metode mengajar yang menyenangkan bagiku hanya membuat kontroversi. Jadilah aku membuang metode itu dari kepalaku. 




Jam dinding yang berwarna coklat tua di kantor guru mengingatkanku betapa pentingnya bahwa pendekatan dengan siswa itu penting. Memakai metode apa saja pasti tidak akan berhasil maksimal tanpa adanya kedekatan dengan orang tua. Layaknya ibu dan anak yang bila dekat maka akan berbeda hasilnya dengan ibu dan anak yang tidak dekat. Hidup ini berhukum sebab akibat, di mana dia melakukan maka akan menghasilkan. Begitu pula pagiku indah hari ini. Bunga-bunga dan kado ini menjadi pagi yang paling indah. Akhir tahun yang berbeda dari tahun-tahun yang lalu batinku. Aku berharap, degub ini akan menjadi cahaya nantinya pada binar-binar asa siswa yang menjadi nyata esoknya. Selamat hari guru untuk seluruh guru di Indonesia. Juga bapak dan ibuku, mertua dan budhe, tante, pakdhe, dan teman-temanku di tanah air tercinta Indonesia.

#salam literasi
#selamathariguru



You Might Also Like

0 Komentar