ANALISIS CERITA ARYO PENANGSANG DENGAN PENERAPAN TEORI STRUKTUR C. LEVIS STRAUSS

Minggu, Mei 20, 2012

BAB III
PEMBAHASAN

A.       Tataran Geografis dalam Cerita Aryo Penangsang
Salah satu tataran teori Struktur C. Levi Strauss adalah tataran geografis. Tataran geografis dalam cerita Aryo Penangsang sudah tergambar jelas dalam bagian awal cerita yang menggambarkan asal si Aryo Penangsang yaitu di desa Jipang Panolan yang berjarak sekitar 8 kilometer dari kota Cepu. Seperti dalam kutipan berikut:
Pada waktu suksesi kasultanan Demak, Sultan Trenggono lebih memilih Jaka Tingkir di banding dengan Aryo Penangsang dari tanah Jipang Panolan untuk dijadikan raja di tanah Jawa. (Aryo Penangsang, 1—3)

Tempat terjadinya cerita yakni di daerah Jipang yang dapat ditempuh dengan kendaraan sepeda motor atau mobil. Petilasan Aryo Penangsang tersebut berbentuk makam Gedong Ageng yang dahulu merupakan bekas pusat pemerintahan dan bandar perdagangan Kadipaten Jipang. Di tempat ini bisa ditemukan Petilasan Siti Hinggil, Petilasan Semayam Kaputren, Petilasan Bengawan Solo, Petilasan Masjid, dan makam kerabat kerajaan waktu itu, antara lain makam Raden Bagus Sumantri, Raden Bagus Sosrokusumo, Raden Ajeng Sekar Winangkrong, dan Tumenggung Ronggo Atmojo. Di sebelah utara Makam Gedong Ageng dapat ditemukan Makan Santri Songo. Disebut demikian karena di Makam Gedong Ageng dapat ditemukan sembilan makam santri dari Kerajaan Pajang yang dibunuh oleh prajurit Jipang karena dicurigai sebagai telik sandi atau mata-mata pemerintahan Pajang.

B.       Tataran Ekonomi dalam Cerita Aryo Penangsang
Pada cerita Aryo Panangsang tidak terlalu menonjolkan aspek ekonomi dalam muatan cerpennya. Namun demikian, tataran ekonomi yang mendukung jalannya cerita ini dapat dianalisis dari deskripsi adanya sedekah bumi yang biasa dilakukan oleh kaum petani. Jadi kondisi ekonomi masyarakat Jipang sebagian besar adalah bermatapencaharian sebagai petani. Seperti dalam cuplikan berikut.
Warga Jipang juga memiliki tradisi sedekah bumi sebagai ungkapan rasa syukur. Tradisi ini disebut dengan manganan dan biasanya dilakukan di makam. (Aryo Penangsang, 71—72)

C.       Tataran Kosmologis dalam Cerita Aryo Penangsang
Tataran kosmologis juga terdapat dalam cerita Aryo Penangsang yang terpapar dalam kutipan cerita berikut:
Karena kemarahan itulah membuat Aryo Penangsang lengah,  tombak dari Danang Sutawijaya menembus perutnya. Walaupun ususnya sudah keluar dari perutnya, karena kesaktiannya, Aryo Penangsang dapat bertahan hidup, keris yang ada ditangannya digunakan untuk menahan usus-ususnya. Lagi-lagi karena hawa amarah telah memuncak pada dirinya, dia melupakan bahwa usus-susunya tersampir dalam keris pusakanya, pada saat akan digunakan untuk membunuh Danang Sutawijaya, keris tersebut menyayat ususnya. Pada detik  itulah Aryo Penangsang menemui kematiannya. (Aryo Penangsang, 27—34)

Dari cuplikan diatas, dapat dilihat bahwa Arya Penangsang memiliki kesaktian ketika ditombak oleh Danang Sutawijaya kemudian menembus perutnya lalu usunya sudah keluar namun Aryo Penangsang dapt bertahan hidup. Tidak hanya itu yang termasuk unsur hubungan hal-hal ghaib dalam ceritanta tampak jelas pada kutiban di bawah ini:
Sesekali aliran sungai Bengawan Solo yang berada dekat makam airnya berwarna merah darah. Darah itu diyakini berasal dari darah Aryo Penangsang saat ditombak oleh Danang Sutowijoyo. Sekitar Bengawan Solo ada pohon kelapa yang kerap didatangi oleh kuda tunggangan Aryo Jipang, Gagak Rimang. Kalau malam terdengar ringkikan kuda tersebut. Konon pohon kelapa tersebut dahulu merupakan tempat untuk menambatkan kuda Gagak Rimang. (Aryo Penangsang, 59—64)

            Pada kutipan di atas menggambarkan hal ghaib yang diyakini masyarakat Jipang berupa aliran sungai Bengawan Solo yang berwarna merah serta adanya ringkikan Gagak Rimang di dekat pohon kelapa. Selain itu, Cerita Aryo Penangsang ini juga menyuguhkan kebiasaan ritual untuk menghormati arwah-arwah ghaib yakni arwah Aryo Penangsang. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut.
Warga Jipang juga memiliki tradisi sedekah bumi sebagai ungkapan rasa syukur. Tradisi ini disebut dengan manganan dan biasanya dilakukan di makam. Setidaknya ada tiga acara manganan, yakni saat turun hujan pertama kali, saat tanam padi, dan saat panen. Acara ini biasanya disertai dengan pertunjukan seni tradisi, seperti ketoprak, wayang krucil, wayang kulit, atau seni tradisi yang lain. Namun pantangannya tidak boleh menanggap kethoprak mengambil lakon Aryo Penangsang. Hal tersebut jika dilanggar bisa berbahaya. (Aryo Penangsang, 71—77)

D.      Tataran Sosiologis dalam Cerita Aryo Penangsang
Tataran sosiologis yang mendukung cerita Aryo Penangsang ini dilatarbelakabgi oleh kehidupan sosial berupa perebutan kekuasaan di tanah Jawa. Mengenai tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut

Pada waktu suksesi kasultanan Demak, Sultan Trenggono lebih memilih Jaka Tingkir di banding dengan Arya Penangsang dari tanah Jipang Panolan untuk dijadikan raja di tanah Jawa. Ada dua fersi atas terjadinya suksesi ini yang pertama, sultan Trenggono mengharap keturunannyalah (Hadiwijoyo) yang kelak akan menjadi raja di tanah Demak. Sedang versi kedua menyebutkan bahwa Sultan Trenggono mengetahui bahwa Arya Penangsang memiliki kelemahan yaitu mudah marah, padahal barang siapa yang menjadi raja tidak boleh memiliki sifat marah. (Aryo Penangsang, 1—8)

Selain itu tataran sosiologis pada cerita Aryo Penangsang ditunjukkan pada hubungan kedekatan antara Aryo Penangsang dengan abdi dalem pengasug kuda Gagak Rimang yang telinganya telah dipotong oleh kelompok Danang Sutawijaya. Aryo Penangsang pun marah mengetahui akan hal itu. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan cerita berikut ini:
Melihat abdinya dilecehkan sedemikian rupa, Arya Penangsang yang sudah memasuki hari ke 39 dari puasanya, menjadi marah tiada kiranya. Padahal Arya Penangsang sudah diperingatkan oleh Sunan Kudus bahwa jika puasanya sampai gagal maka dia akan menemui bilahi (kematian). Namun karena sudah dipenuhi hawa amarah, pesan tersebut tidak dihiraukannya. (Aryo Penangsang, 22—26)

Sosok Aryo Penangsang sebagai penguasa Jipang Panolan sampai saat ini pun masih sangat dihormati oleh masyarakat Jipang. Karena rasa hormat itu pula, mereka sampai tak berani membicarakan tentang Adipati yang dibunuh oleh Danang Sutowijoyo ini.

You Might Also Like

0 Komentar