Tepat pukul 22.00 suhu tubuhnya semakin memuncak. Aku ambil termometer lagi. Suhu tubuhnya masih berada di 40 derajat celcius. Tidak hanya itu, tubuhnya mulai menyelinap kaget, dengan setiap lima menit sekali dia mengigau.
“Sayang, sembuh ya sayang.”
Duka seorang ibu yang melihat anaknya seperti ini. Tuhan tolonglah sembuhkan anakku. Biasanya diberikan obat, panas itu langsung turun. Namun panas itu tidak kunjung turun. Aku memilih untuk bersabar sejenak. Satu jam kemudian, dua jam kemudian, tiga jam kemudian. Kondisi anakku semakin parah. Panasnya meningkat menjadi 41 derajat celcius. Aku lihat jam dinding menunjuk angka 01.00. Tak lama setelah itu, aku bersiap untuk menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit. Anakku diperiksa oleh dokter IGD. Dokter mengatakan bahwa anakku harus dirawat di rumah sakit. Mau tidak mau aku harus merelakan dia dipasang selang infus untuk beberapa hari ke depan. Dengan sigap dua orang perawat memeriksa urat nadinya. Tak lama kemudian, selang infus tertancap sambil mengguyurkan derasnya cairannya dan siap mengantakan ke tubuh anakku.
“Ibu, tunggu kami akan menginfokan kamar setelah kami cek terebih dahulu ketersedian kamar. Naik kelas atau tidak Bu?”
Kali ini aku sudah memiliki kartu asuransi kesehatan. Semua biaya yang nantinya dijumlahkan akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak asuransi. Dalam hati kecil, aku bersyukur. Hati yang lain aku tidak tega melihat anakku kesakitan. Pikiranku berlarian ke dunia lain, dunia kerja yang aku emban. Aku menjadi seksi acara, bagaimana ini jika aku tidak bisa membantu seksi acara untuk acara purnasiswa. Baiklah bagaimana pun aku akan menelepon teman-teman kantorku, aku memohon maaf karena keterbatasanku saat ini. Tak lama berselang setelah pikiranku melayang, seorang perawat mengabariku bahwa kamar sudah siap. Si adik tertidur, terlihat wajahnya pucat tidak berdaya. Perawat itu berjalan dengan hati-hati sebelum menyetop peredaran infus dalam tubuh anakku. Dia berjalan di depanku dan membawakan selang itu. Sementara suamiku berlari ke mobil untuk mengambil perlengkapan seperti baju ganti, handuk, sabun, air mineral, beberapa snack bayi, dan lain sebagainya.
Ya Tuhan. Kuatkan anakku.
Derasnya kucuran cairan infus membuat anakku terlihat agak ceria. Sebelumnya tidak mau makan. Kali ini dia sarapan masakan rumah sakit dengan lahap. Sayur sop, otak-otak daging, tahu bacem, susu, dan buah pisang. Semua dilahap adik. Aku bersyukur bahwa Tuhan sudah memberikan dia kekuatan untuk melawan penyakitnya itu. Suhu tubuhnya sudah tidak terlalu tinggi seperti tadi pukul 01.00. Tak lupa suamiku mencarikan sarapan untuk aku. Dia tidak menangis, tapi aku yakin hatinya tersayat melihat putri kecilnya berbaring seperti ini.
Masakan yang dibelikan suami terasa hambar, mungkin karena aku masih tidak karuan. Namun aku mencoba menguatkan diri. Jika aku tumbang, bagaimana aku merawat si adik dan keluargaku. Aku harus kuat. Seorang ibu harus kuat. Aku mencoba menelan satu sendok, satu sendok lagi, satu sendok seterusnya agar badanku mendapatkan energi. Aku harus mencintai tubuhku sendiri. Siapa lagi yang bisa mencintai tubuh kita selain kita sendiri.
Sore hari, suhu adik sudah normal di kisaran 35 derajat celcius. Rasa syukur aku ucapkan untuk kebesaran Tuhan yang Maha Mulia. Aku mengambil gawai dan kukabarkan keluarga di rumah, mengabarkan ibuku, mengabarkan mertua, mengabarkan tetangga yang sering kurepotkan untuk mengasuh adik dan kakak saat aku bertugas.
Aku bahagia Tuhan memberikan cerita ini kepada keluarga ini. Dengan begitu kami bisa mendapatkan pelajaran bahwa meskipun semua yang di dunia ini habya titipan tetapi kami sangat saling meyayangi.
.
BalasHapus