Aiai dan Bebe
Oleh: Rizky Fitriyanti Pradani
Pada suatu hari, hiduplah dua ekor ikan bernama Aiai dan Bebe. Aiai dan Bebe tinggal di sebuah sungai pada sebuah desa yang sangat sejuk. Air di sungai tersebut juga sangat jernih. Aiai dan Babai sangat senang sekali hidup di sana. Aiai dan Babai selalu tersenyum dan bahagia setiap hari.
Namun pada suatu ketika, rasa senang, selalu tersenyum, dan bahagia itu berubah menjadi kesedihan yang sangat mendalam. Kejadian itu bermula saat Aiai dan Bebe sedang bermain loncat-loncat di tengah sungai. Kemudian, datanglah seorang anak kecil berjenis kelamin laki-laki, berambut lurus membawa tas kresek berwarna hitam di tangan kanannya.
“Asyik, kita makan enak. Anak itu pasti akan melempar makanan kepada kita.” Gumam Aiai kepada Bebe.
Bebe pun menyambut rasa bahagia temannya itu dengan tersenyum sangat senang. “Iya, aku suka sekali. Ayo lempar lempar ke sini.” Bebe pun tidak sabar menanti datangnya makanan itu kepadanya.
Sesaat kemudian, anak itu duduk di bawah pohon. Dia memandang sungai dari kejauhan. Dia lalu tertawa terbahak-bahak melihat aksi Aiai dan Bebe yang sedang loncat-loncat.
Bebe pun berkata,” Wah, anak itu pasti sedang melihat kita sangat bahagia.” Loncatan Bebe semakin bersemangat.
“Wah iya, dia terbahak-bahak melihat kita. Ye.” Jawab Aiai. “Tapi mengapa lama sekali, aku kan sudah lapar.” Lanjutnya.
“Sabar, setelah ini pasti dia melempar.” Kata Bebe. “Oh ya itu dia berdiri.” Wajah Bebe terlihat sangat senang sekali.
Beberapa saat kemudian, anak itu pun berdiri dari duduknya. Sebelum benar-benar dilemparkannya bungkusan hitam yang dipegangnya tersebut. Dia menghitung angka sambil mengayunkan bungkusan tersebut. “Satu, dua, tii...”
Aiai dan Bebe tidak sabar ingin memakan isi bungkusan itu. Kedua mata Aiai dan Bebe melihat arah gerakan ayaunan anak tersebut. Saat hitungan ketiga, tas kresek berwarna hitam tersebut dilemparkannya begitu saja ke sungai. Karena terlalu berat, tas kresek berwarna hitam tersebut pun tenggelam. Aiai dan Bebe segera mengikuti arah tenggelamnya tas kresek berwarna hitam tersebut. Mereka berdua mendekati tas kresek hitam itu.
Makanan itu kini ada di depan mata Aiai dan Bebe. Mereka pun berteriak dengan sangat keras sekali. “Asyiiiiikkkk.” Aiai dan Bebe berlomba-lomba meraih tas kresek hitam itu dengan wajah yang ceria. Mereka berharap, bisa menggapai tas kresek hitam itu lebih dahulu agar dapat memilih makanan yang disukainya.
Tepat di dekat kerumbu karang, langkah mereka berhenti. Wah mengapa baunya tidak enak begini. Aku curiga dengan isinya, sepertinya bukan makanan.” Ucap Bebe sambil menutup hidung.
“Jelas-jelas ini makanan, baunya memang masih asing bagi kita karena kita belum pernah memakannya.” Jawab Aiai. Melihat Bebe yang menutup hidungnya, Aiai pun memberanikan langkahnya membuka tas kresek hitam itu seorang diri. “Biar aku saja yang membukanya.” Kata Aiai.
Aiai pun segera membuka bungkusan tas kresek hitam tersebut. Ternyata isi dari tas itu adalah sampah. “Yah, sampah. Aku kira makanan.” Kata Aiai heran.
“Benar kan, apa kataku tadi. Ini bukan makanan tapi ini racun.” Kata Bebe.
Mereka pun kecewa. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba kepala mereka menjadi pusing.
“Kepalaku pusing sekali, Ai.” Kata Bebe kepada Aiai.
“Aku juga.” Jawab Aiai.
Mereka pun lalu kembali pulang. Setelah beberapa jam, rasa pusing yang melanda mereka pun berangsur-angsur menghilang.
“Jahat sekali anak itu, dia membuang sampah sembarangan. Itu berarti dia sedang berbuat kejelekan. Dia mengotori sungai.” Gumam Bebe tidak terima.
“Iya, kepalaku sampai pusing mencium aroma yang menjijikkan itu.” Kata Aiai. “Lalu, kita harus bagaimana?” Tanyanya kepada Bebe.
“Kita harus mengingatkannya, besok jika dia mengulangi kejadian hal seperti ini lagi.” Jawab Bebe memberi solusi.
Keesokan harinya, datanglah anak laki-laki yang kemaren telah membuang tas kresek berwarna hitam yang berisi sampah ke sungai. Lalu Baibai pun keluar dari persembunyiannya. Baibai pun menghampiri Aiai yang sedang tidur.
“Aiai bangun, anak laki-laki itu datang lagi. Ayo kita harus melakukan sesuatu.” Kata Baibai kepada Aiai.
Aiai merasa malas bangun dari tidurnya. “Wah, aku masih mengantuk sekali.” Dia lalu menutup selimutnya kembali.
“Ayo, kita harus mengingatkan anak itu.” Babai pun menggandeng tangan Aiai dengan paksa, mengharuskannya bangun dan berdiri menemui anak laki-laki tersebut.
Dilihatnya anak itu akan membuang bungkus tas kresek hitam yang dipegangnya. Tas kresek yang dibuangnya kini tidak hanya satu, tetapi dua kresek yang dibawa oleh tangan kanan dan kirinya.
“Wah kemaren satu tas kresek, sekarang dua, besok pasti tiga, besoknya lagi bisa satu truk sampah dibuang di sini semua.” Gumam Bebe mengernyitkan dahi. Dilirik Aiai yang masih mengedip-edipkan mata untuk menahan kantuk.
Anak itu berdiri dan mulai menghitung angka satu sampai tiga. Sebelum selesai menyebutkan angka tiga Bebe pun menampakkan diri. Dia menatap mata anak laki-laki tersebut. “Hei anak kecil, tolong jangan membuang sampah di sini.” Katanya sambil melotot.
“Memang kenapa?” Tanya anak laki-laki itu kepada Bebe.
“Karena itu akan mengganggu habitat kami. Satu bungkus tas kresek hitam yang kau lempar kemaren saja membuat aku dan temanku pusing tujuh keliling.” Kata Bebe kepadanya.
“Wah, maaf kalau perbuatanku ini akan merugikan kalian. Aku sangat menyesal.” Kata anak kecil itu kepada kedua ikan tersebut.
“Terima kasih atas kebaikanmu untuk menjaga habitat kami.” Jawab Bebe.
Semenjak saat itu, anak itu tidak pernah datang lagi. Sungai pun menjadi jernih. Aiai dan Bebe pun dapat bermain dengan bahagia kembali.
Dongeng yang mendidik
BalasHapus